"Kado spesial" dari PT Pertamina itu berupa kenaikan harga elpiji.
VIVAnews - Awal tahun ini, ada "kado spesial" dari
PT Pertamina berupa kenaikan harga elpiji. Sebab, mulai 1 Januari 2014,
pukul 00.00 WIB, perseroan memberlakukan harga baru elpiji non subsidi
kemasan 12 kilogram secara serentak di seluruh Indonesia dengan
rata-rata kenaikan di tingkat konsumen sebesar Rp3.959 per kg. Sehingga,
harga elpiji saat ini mencapai di atas Rp120 ribu per tabung.
Besaran kenaikan di tingkat konsumen akan bervariasi berdasarkan
jarak stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBBE) ke titik serah (supply point).
Namun, dengan kenaikan ini, Pertamina mengaku masih menjual rugi kepada
konsumen elpiji non subsidi kemasan 12 kg sebesar Rp2.100.
Pertamina sebelumnya diketahui berencana menaikkan harga elpiji
tersebut pada 2013, namun adanya keputusan kenaikan harga bahan bakar
(BBM) bersubsidi, membuat perusahaan pelat merah ini menunda kenaikan
bahan bakar elpiji 12 kg.
Memang, kenaikan harga elpiji non subsidi tersebut terkesan
mendadak. Namun, Pertamina beralasan bahwa hal itu untuk mencegah adanya
penimbunan apabila ada sosialisasi kenaikan elpiji biru.
"Tidak ada sosialisasi kenaikan harga. Sosialisasi itu ibarat pisau
bermata dua," kata VP Corporate Communication, Ali Mundakir, saat
ditemui di kantor Pertamina Pusat, Jakarta.
Ali menjelaskan, misalnya, sosialisasi dilakukan seminggu
sebelumnya, masyarakat akan merasa kebingungan. Sebab, masyarakat tidak
bisa berbuat banyak untuk menyetok elpiji.
"Kalau gas masih separuh (separuh kosong), masyarakat tidak bisa
beli. Yang ada, malah oknum yang menimbun stok. Ujung-ujungnya,
masyarakat yang kesulitan. Masyarakat yang benar-benar habis akan
kesulitan (dapatkan elpiji)," kata dia.
Ali melanjutkan, Pertamina melakukan hal seperti itu untuk mencegah
penimbunan tersebut. "Kami tidak memberi kesempatan kepada oknum yang
ingin menimbun elpiji. Kami ingin menjaga pasokan," ujarnya.
Selain itu, menurutnya, perusahaan pelat merah ini juga mengacu
kepada Peraturan Menteri ESDM No. 26 Tahun 2009 pasal 25 yang
menyebutkan bahwa harga jual elpiji 12 kg ditetapkan oleh badan usaha
(dalam hal ini Pertamina), dengan mempertimbangkan harga patokan elpiji,
kemampuan daya beli konsumen, dan pasokan elpiji.
"Harga gas Aramco US$1.172 per metrik ton. Kalau pakai kurs Rp10
ribu per dolar AS, harganya jadi Rp11.720. Kalau pakai kurs Rp12 ribu,
berapa itu harganya? Itu baru bahan baku elpiji. Penjualan elpiji kan,
ditambah pajak, marjin agen, filling cost, dan transportasi. Mungkin sekarang di atas Rp15 ribu," kata dia.
Dia menegaskan bahwa apabila perusahaan pelat merah ini tetap
menjual dengan harga keekonomian, yaitu berkisar Rp5.850 per kg,
Pertamina akan mengalami kerugian cukup besar. "Kalau dengan kondisi
ini, kami menjual dengan harga yang lama, potensi kerugian semakin besar
dan bisa mengancam keberlangsungan suplai," kata dia.
Tanggapan sejumlah pihak
Apapun alasan Pertamina dalam menaikkan harga elpiji biru tersebut,
keputusannya menuai sejumlah komentar dari berbagai kalangan. Baik dari
pihak pemerintah sendiri, maupun dari para pengguna setia elpiji
kemasan 12 kilogram.
Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI)
mengingatkan ada beberapa dampak negatif dari kenaikan harga elpiji 12 kilogram. Salah satunya adalah kemungkinan oplosan gas dari elpiji "melon" ke elpiji biru.
mengingatkan ada beberapa dampak negatif dari kenaikan harga elpiji 12 kilogram. Salah satunya adalah kemungkinan oplosan gas dari elpiji "melon" ke elpiji biru.
"Yang harus diwaspadai itu kemungkinan terjadinya oplosan," kata Ketua Harian YLKI, Tulus Abadi, kepada VIVAnews, di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2014.
Tulus mengatakan, selisih harga yang mencolok antara elpiji biru
dan elpiji "melon" ini bisa menimbulkan penyelewengan gas bersubsidi
ini, yaitu pengisian tabung elpiji 12 kg dengan gas dari tabung elpiji 3
kg.
Seperti diketahui, harga gas elpiji 12 kg di atas Rp120.000-130.000
setelah naik sebesar Rp47.000 per tabung. Apabila dibandingkan dengan
harga gas elpiji melon yang sebesar Rp15.000-17.000 per tabungnya, tentu
ada selisih harga sekitar Rp113.000. "Disparitas harga ini bisa
menyebabkan terjadinya oplosan," ujarnya.
Lalu, yang kedua adalah adanya turun kelas pada konsumen elpiji.
"Yang biasanya menggunakan 12 kg, beralih ke elpiji 3 kg," ungkapnya.
Untuk itu, YLKI menyarankan pemerintah agar melakukan distribusi
tertutup. Tentunya, upaya ini bisa memperkecil kemungkinan adanya
penyelewengan penggunaan elpiji "melon".
"Pemerintah seharusnya melakukan operasi pasar tertutup supaya
elpiji 3 kg tidak boleh lagi digunakan sembarangan. Itu, kan sektornya
untuk kelas menengah ke bawah," kata dia.
Ali Mundakir, mengklaim, perusahaan pelat merah ini siap untuk
melakukan distribusi elpiji 3 kg tertutup. Itu dilakukan untuk
menanggulangi terjadinya "suntikan" gas subsidi ke elpiji biru.
"Sistem distribusi tertutup kan wewenang pemerintah. Dengan senang
hati kami akan lakukan, karena menjadi jelas siapa yang membeli,
sehingga jatah yang sudah dialokasikan APBN jadi terkuota," kata dia.
Selain itu, BUMN energi ini memberlakukan sistem pengawasan
penjualan elpiji. Pertamina saat ini telah mengembangkan sistem
monitoring penyaluran elpiji 3 kg (Simol3k), yang diimplementasikan
secara bertahap di seluruh Indonesia mulai Desember 2013.
Dengan adanya sistem ini, Pertamina akan dapat memonitor penyaluran
elpiji 3 kg hingga level pangkalan berdasarkan alokasi daerahnya.
"Namun demikian, dukungan pemerintah tetap diharapkan melalui
penerapan sistem distribusi tertutup elpiji 3 kg serta penerbitan
ketentuan yang membatasi jenis konsumen yang berhak untuk menggunakan
elpiji 3 kg," ujar Ali.
Seorang ibu rumah tangga yang tinggal di daerah Cibitung, Bekasi,
Sri, mengeluhkan kenaikan harga elpiji 12 kg yang dirasa memberatkan
itu. "Ya, itu membuat masyarakat semakin susah," kata dia kepada VIVAnews.
Bagaimana dengan harga? Wanita ini mengaku terakhir membeli elpiji
12 kg seharga Rp95 ribu pada Desember 2013. "Kalau sekarang, belum tahu,
soalnya belum cari. Tapi, dengar-dengar di radio, ada yang sudah sampai
Rp135 ribu," kata dia.
Biasanya, ibu rumah tangga ini menggunakan tabung gas 3 kg dan 12
kg untuk keperluan masak-memasak. Sri menggunakan elpiji biru ini untuk
memasak dan waktunya awet hingga 1,5 bulan.
Kalau harga "si biru" ini naik, menurut Sri, opsinya adalah elpiji
"melon" yang harganya sekitar Rp13-15 ribu di lingkungan rumahnya. Tapi,
muncul kekhawatiran akan menghilangnya elpiji 3 kg itu.
Sementara itu, Kementerian Keuangan mendorong Pertamina untuk
berupaya mencegah terjadinya migrasi dari LPG 12 kg ke LPG 3 kg. Sebab,
hal tersebut akan berimplikasi pada kenaikan subsidi gas yang telah
dialokasikan pemerintah.
Menteri Keuangan, M Chatib Basri di kantornya, Jumat 3 Januari
2014, mengungkapkan bahwa pihaknya telah berkoordinasi dengan Pertamina,
membahas khusus masalah ini. Ancaman kenaikan subsidi saat ini sedang
dihitung. "Kami harus lihat apalagi langkah yang harus dilakukan,"
ujarnya.
Hasil dari koordinasi sementara, kemungkinan Pertamina akan
memperbaiki jalur distribusi LPG 3 kg. Salah satu perbaikannya
distribusi dilakukan secara tertutup. "Saya belum tahu detailnya," kata
Chatib.
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Menteri Keuangan, Bambang
Brodjonegoro mengatakan, distribusi tertutup yang dilakukan dengan
mengirimkan langsung tabung gas LPG 3 kg sesuai dengan alamat dan nama
masyarakat yang berhak.
Dengan demikian, ke depannya tidak bisa sembarangan membeli LPG 3
kg di agen penjual. "Jadi, kalau kamu datang ke suatu tempat beli LPG 3
kg harus buktikan nama kamu itu ada dalam daftar pembeli LPG 3kg,"
ujarnya.
Subsidi gas, menurut Bambang, tahun ini telah mencapai Rp30
triliun, dengan ancaman migrasi tersebut, realisasinya dapat melampaui.
Karena itu upaya-upaya antisipasi harus dilakukan. "Jadi, kita tidak mau
naik lagi," katanya.
Sedangkan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan
keputusan Pertamina menaikkan harga elpiji non subsidi kemasan 12 kg
akan berdampak pada kenaikan inflasi sebesar 0,13 persen.
"Perkiraan kita kenaikan LPG itu akan menambah inflasi 0,13 persen.
0,13 itu adalah dampak keseluruhan dari rencana kenaikan LPG untuk
keseluruhan tahun 2014. Kan itu ada rencana dari waktu ke waktunya. 0,13
itu adalah dampak keseluruhannya," ujarnya.
Memang, menurut Perry, kenaikan inflasi itu tidak terlalu besar.
BI, katanya, masih tetap yakin bahwa kenaikan inflasi sebesar 0,13
persen akibat kenaikan LPG itu tidak akan mengancam target BI terhadap
inflasi pada 2014 sebesar 4,5 ± 1.
"Jadi, kita sudah kalkulasi dalam proyeksi inflasi kita di tahun 2014 secara keseluruhan kita akan confident bahwa inflasi di tahun 2014 akan dapat kita kendalikan pada targetnya 4,5 ± 1," katanya.
Harga di sejumlah daerah
Di Balikpapan, harga gas 12 kg dijual Rp126 ribu atau mengalami
kenaikan harga sebesar Rp36 ribu dari harga sebelumnya yang hanya Rp90
ribu. Sedangkan harga elpiji di Samarinda naik menjadi Rp128 ribu.
Kenaikan harga gas nonsubsidi di dua wilayah itu sudah terjadi sejak 1
Januari 2014 kemarin.
Beberapa agen elpiji di kota itu mengakui kalau stok gas 12 kg
sudah kosong sejak sepekan terakhir. Stok gas juga tidak ada di sejumlah
SPBU di kota itu.
Manajer Humas Pertamina UPMS VI, Rudi Biantoro mengatakan, guna
menstabilkan harga dan menghindari kekosongan gas, pasokan gas 3 kg di
Balikpapan diperbanyak.
"Kekosongan gas hanya karena keterlambatan pengiriman saja.
Perbedaan harga di beberapa tempat hanya dikarenakan faktor jarak angkut
saja," katanya, Kamis 2 Januari 2014.
Kenaikan harga gas elpiji ukuran 12 kg juga terjadi di Tangerang,
Banten. Harga gas nonsubsidi yang semula Rp80 ribu sudah naik menjadi
Rp130 ribu.
Kenaikan harga gas elpiji 12 kg, membuat penjual mengeluh. Selain
stok yang tidak tersedia, banyak warga yang akhirnya memilih untuk
membeli gas ukuran 3 kg.
Menurut penjual gas bernama Foni, sebelum harga naik saat sekarang
ini, gas elpiji non subsidi sudah naik dari Rp75 ribu menjadi Rp82 ribu.
"Keuntungan menjual gas 3 kg tidak seberapa. Karena harga gas 12 kg
naik, banyak warga yang membeli gas kuning," katanya.
Usaha mikro terpukul
Sementara itu, YLKI mengungkapkan bahwa kenaikan elpiji 12 kg
justru lebih memberatkan usaha mikro dibanding sektor rumah tangga.
Sebab, kebutuhan elpiji menjadi salah satu unsur pokok sektor mikro ini,
terutama usaha mikro bidang makanan dan minuman.
"Kalau sektor rumah tangga tidak terlalu besar, karena hanya
mengeluarkan tambahan Rp40 ribuan. Justru, elpiji ini lebih banyak
dipakai usaha mikro. Ini bisa berdampak, tapi tidak besar," kata Ketua
Harian YLKI, Tulus Abadi, ketika dihubungi VIVAnews.
Tulus tidak menjelaskan berapa persen dampaknya kepada sektor usaha
mikro, terutama usaha makanan dan minuman. Namun, efek kenaikan elpiji
12 kg lebih kecil dibanding efek kenaikan harga bahan makanan.
"Misalnya, rumah makan Padang. Efek kenaikan harga elpiji tidak
besar. Tetapi, kalau harga bahan makanan yang naik, nah, mereka akan
menaikkan harga makanan yang dijual," kata dia.
Keluhan yang sama juga diungkapkan oleh pemilik warteg "Sudi
Mampir", Nur Sidiq. Pria ini kaget bukan main saat mengetahui harga
elpiji sudah naik dari Rp81 ribu menjadi Rp133 ribu di daerahnya.
"Tadinya harga elpiji 12 kg itu Rp81 ribu. Tapi, sekarang waktu
beli, kok harganya jadi Rp133 ribu. Saya kaget. Itu berat sekali. Nggak keuber," kata Nur kepada VIVAnews.
Namun, dia tidak bisa berbuat banyak dengan adanya kenaikan harga
elpiji biru ini dan hanya bisa mempertahankan harga makanan di
wartegnya. Nur takut untuk menaikkan harga makanan yang dia jual di
wartegnya. Soalnya, konsumen yang biasa membeli makanan di tempatnya
sudah berkurang.
"Waktu (harga elpiji) belum naik, pembeli saja sudah berkurang, apalagi kalau harga makanan dinaikkan," katanya.
Sementara itu, harga makanan yang disajikan di hotel maupun yang
dijual di restoran dalam kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) akan
dinaikkan.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) DIY,
Deddy Pranowo Eryono, Jumat 3 Januari 2014, menjelaskan bahwa kisaran
kenaikan harga makanan ini bisa mencapai 10 persen hingga 20 persen.
Menurut Deddy, langkah menaikkan harga makanan ini tak bisa
dihindari setelah harga elpiji 12 kilogram naik sangat drastis, dari
Rp80.000 per tabung menjadi Rp120.000 per tabung. Beban yang ditanggung
pelaku usaha kian berat.
"Ini pukulan berat bagi pelaku usaha perhotelan dan restoran,
termasuk juga rumah makan-rumah makan sederhana," ujar Deddy di DIY.
Ia melanjutkan, perlu kecermatan untuk menekan pos-pos biaya lain
agar harga jual makanan hotel dan restoran tak terlalu tinggi
kenaikannya. "Kami juga harus memikirkan daya beli masyarakat maupun
tamu. Karena kalau dinaikkan terlalu tinggi, langganan kami akan kabur,"
ujar Deddy.
Lonjakan harga elpiji 12 kilogram ini, ia menambahkan, kian
menambah beban setelah terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak pada
September 2013.
"Belum lama kami menaikkan harga kamar. Kini harus menaikkan lagi
harga sajian makanannya, karena harga elpiji 12 kilogram naik," kata
Deddy.
Kenaikan harga gas 12 kilogram ini tak hanya memukul sektor hotel dan restoran. Pelaku usaha laundry and dry cleaning
yang menggunakan gas untuk pengeringan pun turut merasakan beban makin
berat. Apalagi sebelumnya, juga sudah terjadi kenaikan tarif dasar
listrik.
Salah satu pemilik usaha tersebut di Gunungkidul, DIY, Erwin
Hidayat, mengatakan bahwa kenaikan harga elpiji ini amat berdampak pada
biaya operasional. "Saya biasa menghabiskan tiga tabung 12 kilogram
dalam sebulan, kenaikan ini cukup memberatkan," ujar Erwin.
Menurut Erwin, gas penting digunakan untuk mesin pengering.
"Penggunaan elpiji untuk mengurangi penggunaan listrik yang sebelumnya
sudah naik," tuturnya.